Selasa, Agustus 26, 2014

Finally...

Finally...
After 6 years, 2 months and 27 days finally I can claim this blog. 
Before, I used an old email and now I am using new email for my blog. 
I want to say thanks a lot for all of my visitor, and very sorry if I don't reply your comment. 
Just relax and enjoy, explore every side of this blog.

Jumat, Juni 13, 2008

PEREMPUAN KUCING

Saya mengenal perempuan itu belum lama. Waktu itu tanpa sengaja saya melihat jendela di rumah sebelah yang berada tepat di depan rumah kontrakan saya. Dan tiba-tiba saya melihat ada seorang perempuan di balik jendela tersebut. Saya tidak tahu pasti, sejak kapan perempuan itu berada di sana. Bahkan saya juga tidak ingat sejak kapan rumah itu kembali berpenghuni. Kesibukan saya belakangan ini rupanya telah cukup menyita waktu saya. Khususnya waktu luang saya. Setiap hari saya harus berangkat pagi dan pulang menjelang tengah malam. Meski begitu, pekerjaan seperti tidak pernah selesai. Selalu saja ada pekerjaan setiap harinya. Pekerjaan-pekerjaan itu selalu memaksa saya untuk berangkat pagi dan pulang malam.

Diam-diam saya memperhatikan perempuan itu. Waktu itu sore baru saja menjelang. Kebetulan saya tengah libur dan menyempatkan diri untuk tidak pergi kemanapun. Setelah lelah tidur seharian, saya berjalan ke balkon di samping kamar saya di lantai dua. Dan pandangan saya segera tertuju ke arah jendela rumah sebelah. Letaknya lurus dengan balkon tempat saya berdiri sekarang, juga berada di lantai dua. Hanya saja, kamar di rumah sebelah itu tidak memiliki balkon. Saya bisa melihat dengan jelas, bahkan ke dalam sebagian kamar di balik jendela tersebut. Namun sore itu, perhatian saya tersita oleh sosok perempuan yang kini masih berdiri di samping jendela.

Saya mencoba tersenyum saat perempuan itu tanpa sengaja menoleh ke arah saya. Ia seperti terkejut, namun bibirnya segera menyunggingkan seulas senyum. Saya melambaikan tangan dan perempuan itu membalasnya. Kemudian saya duduk di kursi yang ada di balkon sambil pura-pura membaca koran. Diam-diam, saya terus mengamati perempuan itu. Akhirnya, malam memisahkan kami. Dan lagi-lagi, sebuah lambaian menjadi ucapan perpisahan kami. Jendela tempat perempuan itu pun tertutup, begitu juga pintu balkon kamar saya.

****

Seperti biasa, saya selalu bangun pagi-pagi. Tapi tidak seperti biasa, pagi ini saya terus mengamati jendela di rumah sebelah. Entah sudah berapa hari saya terus mengamati rumah itu. Dan selama itu, saya belum bisa bertemu langsung dengan perempuan tersebut. Seperti hari-hari kemarin, perempuan itu selalu berdiri di samping jendela, dan kami pun bercakap-cakap dengan bahasa isyarat - yang terkadang tidak kami pahami. Kami hanya melempar senyum, melambaikan tangan atau sekedar menganggukkan kepala. Paling tidak saya mengetahui kebiasaan perempuan tersebut. Di samping kebiasaan berdiri di samping jendela, ia juga memiliki kebiasaan membuang sampah pada pagi hari.

Dengan terburu-buru, saya segera keluar rumah. Tangan kiri saya memegang buntalan plastik berisi sampah. Entah sudah berapa hari sampah ini menumpuk di tempat sampah rumah saya. Sebenarnya saya malas untuk membuangnya secara rutin. Kalau sempat saya membuangnya ke tempat sampah yang ada di depan rumah. Tapi kalau tidak sempat, maka saya biarkan saja memenuhi kotak tempat sampah yang ada di dalam rumah. Namun pagi ini saya sudah berniat untuk membuangnya. Bahkan niat ini sudah saya rencanakan sejak semalam. Saya cuma berharap bisa bertemu langsung dengan perempuan dari rumah sebelah.

Perempuan itu keluar sambil menenteng buntalan di tangan kanan dan kirinya. Saya segera meletakkan buntalan sampah milik saya di tempat sampah dan segera berjalan menyeberangi jalan raya yang masih sepi yang memisahkan rumah saya dengan rumah perempuan itu.

Ia menoleh dan tersenyum saat saya menyapanya. Bibir tipisnya tersungging dengan lesung pipit di pipi sebelah kiri. Wajahnya bundar dengan bola mata yang hitam dan hidung kecil. Ia memiliki rambut yang bagus, panjang dan menyentuh bahu. Tubuhnya langsing dan sedikit lebih tinggi dari saya saat ia berdiri di atas trotoar dan saya masih berdiri di jalan raya. Jaket wol sebatas lutut membungkus tubuhnya.

"Dingin sekali pagi ini," saya mencoba mengajaknya bicara sambil merapatkan jaket kulit yang saya pakai. Lagi-lagi ia hanya tersenyum. Saya diam dan membiarkan perempuan itu memunguti sisa-sisa sampah yang berserakan di sekitar tempat sampah. Sesuatu yang nyaris tidak pernah saya lakukan. Bahkan saya tidak tahu sejak kapan ada tempat sampah di depan setiap rumah.

"Oya, ngomong-ngomong nama saya Andre," saya memperkenalkan diri. Waktu saya sempit, batin saya. Sesegera mungkin saya harus mengetahui nama perempuan itu. Setelah itu saya berniat untuk pulang, mandi, sarapan dan segera berangkat kerja.

"Hmm... boleh tahu namamu?" Terdengar seperti paksaan. Tapi sejujurnya saat ini saya benar-benar ingin segera tahu namanya. Dan terpaksa saya sedikit memaksanya - kalau boleh dibilang memaksa - karena ia hanya tersenyum.

"Miauwww... miauwww..."

Saya terkejut saat mendengar jawaban perempuan itu. Apa saya salah dengar? Barangkali dinginnya pagi telah sedikit merusak pendengaran saya. Atau saya mendengar suara yang lain? Saya benar-benar bingung.

"Miauww miauwww miauwww."

Saya pun sadar, bukan saya yang salah dengar. Perempuan itu benar-benar bersuara seperti kucing. Tepatnya kucing kecil. Disamping suaranya sedikit lirih, nadanya juga terdengar manja. Saya masih tertegun, bahkan saat perempuan itu kembali bersuara dan bergegas meninggalkan saya.

****

"Oh, perempuan kucing? Kami memanggilnya demikian, karena ia tidak bisa bersuara kecuali suara kucing."

Saya hanya mengangguk-angguk mendengar penuturan salah seorang tetangga. Karena rasa penasaran, saya pun mencoba mencari tahu tentang perempuan tersebut. Dan mereka menyebutnya sebagai perempuan kucing. Saya tak habis pikir bagaimana ia bisa seperti itu.

"Dulu sewaktu ibunya hamil, ia ngidam kucing," kata salah seorang tetangga.

"Ia pernah dikutuk karena menganiaya seekor kucing kecil. Ia dikutuk sehingga suaranya berganti menjadi suara kucing. Dan kucing yang dulu pernah ia aniaya, sekarang bisa berbicara. Namun, kucing itu entah di mana. Tidak ada seorangpun yang tahu. Konon, mereka bisa menukar suara mereka masing-masing, dengan syarat si perempuan meminta maaf kepada kucing tersebut," jawab tetangga yang lain.

"Waktu kecil, ia pernah bermain dengan seekor kucing kecil. Dan tanpa sengaja, ia memakan kucing kecil itu, sehingga suaranya pun berubah menjadi suara kucing," komentar tetangga yang lain lagi.

Saya kecewa karena saya tidak bisa mengetahui secara pasti siapa sebenarnya perempuan itu. Terlebih lagi, saya juga tidak bisa mengetahui kenapa perempuan itu bisa bersuara seperti suara kucing. Namun saya merasakan bahwa perempuan itu dianggap aneh oleh orang-orang disekelilingnya. Terkadang saat tanpa sengaja kami berpapasan, saya bisa melihat wajahnya yang sayu. Mungkin itu penyebab kenapa ia sering termenung di balik jendela kamarnya. Apakah ia merasa kesepian?

****

Cukup lama juga saya mengenalnya. Seorang perempuan kucing, atau tepatnya perempuan yang bersuara kucing. Saya merasa bahwa saya sudah benar-benar mengenalnya. Perempuan tersebut nampaknya juga menerima saya dengan baik. Saya sering memperhatikan perubahan pada wajahnya, baik saat sedang bersama dengan saya maupun saat ia tengah termenung di balik jendela. Ia selalu tertawa dan berusaha bercerita dengan bahasanya sendiri. Meski saya tidak paham, namun saya bisa merasakan nada-nada gembira dalam suaranya. Bahkan, sudah beberapa kali saya menyempatkan diri mampir ke rumahnya.

Saya merasakan ada sesuatu yang hadir dalam hati saya. Seperti rasa rindu. Saya hanya tersenyum saat membayangkan hal tersebut. Barangkali karena saya kesepian, saya selalu mencoba menganggap perasaan itu sebagai sesuatu yang biasa saja. Tapi entah kenapa, selalu saja ada perasaan-perasaan aneh yang hadir mengisi hati saya. Dan pelahan saya mulai mencoba untuk menafsirkannya.

Pada sebuah sore, saat mentari baru separoh tenggelam di balik cakrawala barat, saya bergegas menemuinya. Sore itu saya sudah berniat untuk mengutarakan perasaan saya kepadanya. Sebuah perasaan yang selama ini selalu saya coba mengingkarinya. Saya benar-benar telah jatuh cinta kepadanya.

Perempuan itu hanya terdiam sambil menatap tajam ke arah saya. Dengan terbata-bata dan perasaan yang membuncah, saya telah berhasil mengungkapkan perasaan saya. Apakah kata-kata saya telah menyinggung perasaannya? Atau ia meminta waktu untuk berpikir? Atau ia akan menolak saya? Sesuatu yang tidak saya harapkan.

"Miauwww... miauw... miauuwwww...." Nada suaranya terdengar aneh di telinga saya. Dan saya benar-benar tidak bisa memahaminya.

"Miauw... miauwww...miauw miauwww..." ia masih saja bersuara sambil sesekali tangannya bergerak-gerak. Dan saya hanya berdiri dengan dahi berkerut.

Meonggg.... meongggg....

Saya terkejut saat tiba-tiba ada seekor kucing yang muncul di antara kami. Tidak hanya seekor, tapi ada dua ekor, tiga ekor, empat ekor serta beberapa ekor lagi. Lalu, kucing-kucing itu berkerumun di sekeliling perempuan tersebut. Suara mereka sangat ramai. Barangkali mereka tengah berdiskusi, batin saya.

Meonggg... meooonggg....

Miauuwww... miauuwwww...

Meooonggggg

Perempuan itu tertawa sambil sesekali bergulingan di atas lantai. Dan kucing-kucing itu pun saling bersuara dengan riuh sambil sesekali saling berpelukan, berkejaran, mencakar dan ada juga yang naik ke atas kursi. Saya diam memperhatikan semuanya. Saya bisa melihat wajah perempuan itu begitu gembira, belum pernah saya melihat wajahnya segembira sekarang. Nada suaranya juga terdengar lebih manja.

Suara perempuan kucing dan kucing-kucingnya masih saja terdengar ramai saat saya dengan lemas meninggalkan rumah tersebut. Ia tidak menolak saya, juga tidak menerima saya. Saya pun sadar, perempuan itu tidak sedang kesepian - berbeda dengan diri saya. Dan saya pun sadar, perempuan itu sebenarnya tidak pernah mengharapkan saya. Barangkali saya perlu belajar bahasa kucing supaya saya bisa memahami perempuan itu.

Purwokerto, 12 Juni 2008

Untuk perempuan kucing, ajari aku bahasamu, aku akan memahamimu

Rabu, Mei 07, 2008

KEPADA KATA-KATA

Aku tak bisa lagi menulis. Meski malam yang gelap tak akan habis aku jadikan tinta. Dan siang yang benderang tak akan punah aku jadikan lembaran-lembaran tempat pena menari. Sementara ide-ide terus saja mengalir memenuhi lubuk benakku. Dan peristiwa-peristiwa terus saja bercerita.

Sejujurnya aku telah bercerai dengan kata-kata. Saat ia tak lagi menganggapku ada. Hanya karena aku tak mau lagi bicara. Dan jemariku tak mampu lagi memeluk pena. Telingaku pun tak mendengar suara-suara legenda. Aku juga tak bisa lagi membaca, meski kisah-kisah menari di depan mata.

Ah, apalah jadinya, saat penulis kehilangan kata-kata.

Purwokerto, 07 Mei 2008

Rabu, April 16, 2008

AKU, YANG TERKALAHKAN

Untuk rembulan: rasa itu telah tenggelam, di ufuk barat langit jiwaku, seiring diriku yang menghilang dari kenanganmu. (el-moesafeer)


Sekarang, pada sebuah senja.

Aku terdiam dan tetap berdiri di atas pasir basah yang lembut. Dan di hadapanku, terbentang luas samudera yang ombaknya saling berkejaran mengantar mentari senja tenggelam di balik peraduan cakrawala. Pelahan, mentari pun menghilang, hanya menyisakan larik-larik keemasan yang memantul pada mega-mega. Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya pelahan. Ada sesak yang menghimpit dada.

"Pergilah," bisikku lirih, kepada mentari yang baru saja purna. "Engkau telah mengalahkanku," lanjutku, kepada mentari yang baru saja hilang dari pandangan.

Aku duduk di atas pasir yang lembut, tak kuperdulikan lagi ombak-ombak yang kini saling berkejaran ke arahku. Malam mulai menjelang. Ah, bagiku malam dan siang tiada beda. Sama-sama tak berarti bagiku. Meski ada mentari saat siang dan ada rembulan kala malam. Mentari, ia telah mengalahkanku. Dan rembulan, ia tak mungkin lagi aku miliki. Karena rembulan telah memilih mentari.

Dahulu, pada sebuah pagi.

Aku terjaga dari mimpi, sebuah mimpi yang terasa-rasa tak mungkin untuk terwujud, namun aku menikmatinya. Kemarin, angin sepoi yang berhembus telah membisikkan ke telingaku, bahwa hari ini rembulan tengah berulang tahun. Ah, ulang tahun. Aku telah berencana untuk memberikan kenang-kenangan untuknya. Dan hari ini, adalah hari yang aku tunggu-tunggu. Hari ini, tepat pada hari ulang tahunnya, aku akan memberikan kenang-kenangan itu kepadanya.

Aku berjalan pelahan ke tempat rembulan. Dari angin sepoi yang berhembus pula, aku tahu di mana rembulan berada. Namun langkahku terhenti, saat mataku melihat mentari tengah ada di sisi rembulan. Ah, aku terlambat, batinku resah. Mentari nampak bersinar dengan terang, sebagian cahayanya memantul pada rembulan. Ia menghadiahkan sepotong pelangi kepada rembulan. Juga beberapa keping gemintang dan sepotong senja. Ah, sangat istimewa. Sedangkan aku? Aku tersenyum pahit saat menyadari hadiah yang akan aku berikan. Hanya sekuntum awan. Ya, hanya itu. Aku pernah berharap, awan itu akan menjadi hadiah teristimewa bagi rembulan. Namun kini aku sadar, sekuntum awan tak berarti sama sekali dibandingkan hadiah-hadiah dari mentari. Ah, bahkan, sekuntum awan itu akan lenyap saat angin sepoi berhembus, menyisakan tangkainya yang layu.

Aku terdiam dan memandang rembulan yang tengah berseri-seri menerima segala pemberian dari mentari. Alangkah senangnya, gumamku. Aku masih terdiam dan tiba-tiba ada rasa kehilangan yang menyelinap dalam dada. Tak lama, kekalahan berdiri di hadapanku. Tidak hanya kekahalan, tapi juga kehinaan. Kemudian mereka menari mengelilingiku. Kekalahan dan kehinaan terus menari, bahkan mereka juga membujukku untuk ikut menari. Namun, aku menolak. Akhirnya, aku pun melangkah menjauhi mereka - rembulan dan mentari. Sementara kekalahan dan kehinaan terus saja menari mengikuti jejak-jejak langkahku. Pelahan, aku pun mulai ikut menari bersama mereka. Ya, aku menari bersama kekalahan dan kehinaan. Menari dan terus menari. Hingga tak lagi kusadari arti sebuah kehilangan, tak lagi kurasakan arti penyesalan. Yang ada hanyalah kekalahan dan kehinaan. Menari dan terus menari.

Tak berapa lama, mimpi - yang biasa datang saat aku terlena - menyadarkanku. Aku merangkul kekalahan dan kehinaan, dan kuajak serta untuk ikut bersamaku. Lalu, kami bertiga kembali menari hingga kami terlena dan mimpi menyelimuti kami. Aku bahkan tak lagi mengerti, mana diriku yang sesungguhnya. Karena kekalahan dan kehinaan, begitu juga mimpi, nyaris sama denganku. Aku adalah kekalahan. Kehinaan adalah aku. Dan mimpi menjelma menjadi keduanya.

Ah, kekalahan.
Ah, kehinaan.
Ah, mimpi.
Mari menari dan terus menari.

Purwokerto, 28 Maret 2008


Jumat, Maret 28, 2008

RENCANA YANG GAGAL

Dari kemarin, tepatnya sekitar beberapa hari yang lalu, saya telah berencana untuk pulang ke rumah. Entah kenapa, saya ingin pulang. Padahal biasanya saya malas untuk pulang. Mungkin lidah saya sudah mulai tidak cocok dengan masakan-masakan yang saya makan di tempat rantau. Dan sekarang lidah saya membujuk saya untuk pulang ke rumah. Sekedar merasakan makanan bikinan rumah.

Akhirnya, sayapun memilih-milih hari yang baik untuk pulang. Paling tidak, semalam saya ingin di rumah. Setelah memilih-milih, akhirnya saya pun menentukan hari untuk pulang. Namun sayang, entah kenapa sesuatu yang direncanakan selalu sering gagal. Begitu juga dengan rencana kepulangan saya, yang meski tidak saya rencanakan secara matang, akhirnya gagal juga.

Sekarang, saya kembali harus berhadapan dengan layar komputer dan menjelma menjadi hantu di dunia maya - tanpa wujud, tanpa suara. Hanya sebuah nama yang bergentayangan menyusuri gelapnya dunia maya ini. Ditemani beberapa batang rokok - yang saya sendiri sebenarnya telah berusaha untuk menghindarinya, namun entah kenapa saya selalu membutuhkannya - dan beberapa rencana untuk browsing atau sekedar main game. Dan lagi-lagi, rencana saya itu gagal. Setelah saya di depan komputer, menyalakan sebatang rokok, sementara senja baru saja tenggelam di cakrawala barat, saya lebih tertarik membuka beberapa dokumen saya. Hanya melihat-lihat memang. Nyaris tidak sesuai dengan tujuan awal saya. Bahkan, akhirnya saya - yang terus terang tidak ada rencana mem-posting di blog - membuka blog dan membuat posting baru.

Mungkin, setelah mem-posting tulisan ini, saya akan kembali pada tujuan semula saya berinternet. Mungkin sebentar lagi saya akan menyalakan messenger, menyapa hantu-hantu dunia maya yang lain, sekedar browsing, dan diakhiri dengan bermain game - yang entah kapan berakhirnya. Dan rencana kepulangan saya menjadi sedikit tertunda. Bahkan, saya juga menunda untuk membuat rencana kepulangan. Saat ini saya cuma ingin menghabiskan waktu malam saya, di depan komputer, mencoba menulisi dinding-dinding dunia maya dengan coretan-coretan yang mungkin saya sendiri tidak begitu paham. Malam akan saya tumpahkan di monitor komputer saya. Meski saya ragu, apakah rencana saya ini akan berjalan?


Purwokerto, 28 Maret 2008
mencoba memindah malam ke dalam riuh dunia maya