Untuk rembulan: rasa itu telah tenggelam, di ufuk barat langit jiwaku, seiring diriku yang menghilang dari kenanganmu. (el-moesafeer)
Sekarang, pada sebuah senja.
Aku terdiam dan tetap berdiri di atas pasir basah yang lembut. Dan di hadapanku, terbentang luas samudera yang ombaknya saling berkejaran mengantar mentari senja tenggelam di balik peraduan cakrawala. Pelahan, mentari pun menghilang, hanya menyisakan larik-larik keemasan yang memantul pada mega-mega. Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya pelahan. Ada sesak yang menghimpit dada.
"Pergilah," bisikku lirih, kepada mentari yang baru saja purna. "Engkau telah mengalahkanku," lanjutku, kepada mentari yang baru saja hilang dari pandangan.
Aku duduk di atas pasir yang lembut, tak kuperdulikan lagi ombak-ombak yang kini saling berkejaran ke arahku. Malam mulai menjelang. Ah, bagiku malam dan siang tiada beda. Sama-sama tak berarti bagiku. Meski ada mentari saat siang dan ada rembulan kala malam. Mentari, ia telah mengalahkanku. Dan rembulan, ia tak mungkin lagi aku miliki. Karena rembulan telah memilih mentari.
Dahulu, pada sebuah pagi.
Aku terjaga dari mimpi, sebuah mimpi yang terasa-rasa tak mungkin untuk terwujud, namun aku menikmatinya. Kemarin, angin sepoi yang berhembus telah membisikkan ke telingaku, bahwa hari ini rembulan tengah berulang tahun. Ah, ulang tahun. Aku telah berencana untuk memberikan kenang-kenangan untuknya. Dan hari ini, adalah hari yang aku tunggu-tunggu. Hari ini, tepat pada hari ulang tahunnya, aku akan memberikan kenang-kenangan itu kepadanya.
Aku berjalan pelahan ke tempat rembulan. Dari angin sepoi yang berhembus pula, aku tahu di mana rembulan berada. Namun langkahku terhenti, saat mataku melihat mentari tengah ada di sisi rembulan. Ah, aku terlambat, batinku resah. Mentari nampak bersinar dengan terang, sebagian cahayanya memantul pada rembulan. Ia menghadiahkan sepotong pelangi kepada rembulan. Juga beberapa keping gemintang dan sepotong senja. Ah, sangat istimewa. Sedangkan aku? Aku tersenyum pahit saat menyadari hadiah yang akan aku berikan. Hanya sekuntum awan. Ya, hanya itu. Aku pernah berharap, awan itu akan menjadi hadiah teristimewa bagi rembulan. Namun kini aku sadar, sekuntum awan tak berarti sama sekali dibandingkan hadiah-hadiah dari mentari. Ah, bahkan, sekuntum awan itu akan lenyap saat angin sepoi berhembus, menyisakan tangkainya yang layu.
Aku terdiam dan memandang rembulan yang tengah berseri-seri menerima segala pemberian dari mentari. Alangkah senangnya, gumamku. Aku masih terdiam dan tiba-tiba ada rasa kehilangan yang menyelinap dalam dada. Tak lama, kekalahan berdiri di hadapanku. Tidak hanya kekahalan, tapi juga kehinaan. Kemudian mereka menari mengelilingiku. Kekalahan dan kehinaan terus menari, bahkan mereka juga membujukku untuk ikut menari. Namun, aku menolak. Akhirnya, aku pun melangkah menjauhi mereka - rembulan dan mentari. Sementara kekalahan dan kehinaan terus saja menari mengikuti jejak-jejak langkahku. Pelahan, aku pun mulai ikut menari bersama mereka. Ya, aku menari bersama kekalahan dan kehinaan. Menari dan terus menari. Hingga tak lagi kusadari arti sebuah kehilangan, tak lagi kurasakan arti penyesalan. Yang ada hanyalah kekalahan dan kehinaan. Menari dan terus menari.
Tak berapa lama, mimpi - yang biasa datang saat aku terlena - menyadarkanku. Aku merangkul kekalahan dan kehinaan, dan kuajak serta untuk ikut bersamaku. Lalu, kami bertiga kembali menari hingga kami terlena dan mimpi menyelimuti kami. Aku bahkan tak lagi mengerti, mana diriku yang sesungguhnya. Karena kekalahan dan kehinaan, begitu juga mimpi, nyaris sama denganku. Aku adalah kekalahan. Kehinaan adalah aku. Dan mimpi menjelma menjadi keduanya.
Ah, kekalahan.
Ah, kehinaan.
Ah, mimpi.
Mari menari dan terus menari.
Purwokerto, 28 Maret 2008
Aku terdiam dan tetap berdiri di atas pasir basah yang lembut. Dan di hadapanku, terbentang luas samudera yang ombaknya saling berkejaran mengantar mentari senja tenggelam di balik peraduan cakrawala. Pelahan, mentari pun menghilang, hanya menyisakan larik-larik keemasan yang memantul pada mega-mega. Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya pelahan. Ada sesak yang menghimpit dada.
"Pergilah," bisikku lirih, kepada mentari yang baru saja purna. "Engkau telah mengalahkanku," lanjutku, kepada mentari yang baru saja hilang dari pandangan.
Aku duduk di atas pasir yang lembut, tak kuperdulikan lagi ombak-ombak yang kini saling berkejaran ke arahku. Malam mulai menjelang. Ah, bagiku malam dan siang tiada beda. Sama-sama tak berarti bagiku. Meski ada mentari saat siang dan ada rembulan kala malam. Mentari, ia telah mengalahkanku. Dan rembulan, ia tak mungkin lagi aku miliki. Karena rembulan telah memilih mentari.
Dahulu, pada sebuah pagi.
Aku terjaga dari mimpi, sebuah mimpi yang terasa-rasa tak mungkin untuk terwujud, namun aku menikmatinya. Kemarin, angin sepoi yang berhembus telah membisikkan ke telingaku, bahwa hari ini rembulan tengah berulang tahun. Ah, ulang tahun. Aku telah berencana untuk memberikan kenang-kenangan untuknya. Dan hari ini, adalah hari yang aku tunggu-tunggu. Hari ini, tepat pada hari ulang tahunnya, aku akan memberikan kenang-kenangan itu kepadanya.
Aku berjalan pelahan ke tempat rembulan. Dari angin sepoi yang berhembus pula, aku tahu di mana rembulan berada. Namun langkahku terhenti, saat mataku melihat mentari tengah ada di sisi rembulan. Ah, aku terlambat, batinku resah. Mentari nampak bersinar dengan terang, sebagian cahayanya memantul pada rembulan. Ia menghadiahkan sepotong pelangi kepada rembulan. Juga beberapa keping gemintang dan sepotong senja. Ah, sangat istimewa. Sedangkan aku? Aku tersenyum pahit saat menyadari hadiah yang akan aku berikan. Hanya sekuntum awan. Ya, hanya itu. Aku pernah berharap, awan itu akan menjadi hadiah teristimewa bagi rembulan. Namun kini aku sadar, sekuntum awan tak berarti sama sekali dibandingkan hadiah-hadiah dari mentari. Ah, bahkan, sekuntum awan itu akan lenyap saat angin sepoi berhembus, menyisakan tangkainya yang layu.
Aku terdiam dan memandang rembulan yang tengah berseri-seri menerima segala pemberian dari mentari. Alangkah senangnya, gumamku. Aku masih terdiam dan tiba-tiba ada rasa kehilangan yang menyelinap dalam dada. Tak lama, kekalahan berdiri di hadapanku. Tidak hanya kekahalan, tapi juga kehinaan. Kemudian mereka menari mengelilingiku. Kekalahan dan kehinaan terus menari, bahkan mereka juga membujukku untuk ikut menari. Namun, aku menolak. Akhirnya, aku pun melangkah menjauhi mereka - rembulan dan mentari. Sementara kekalahan dan kehinaan terus saja menari mengikuti jejak-jejak langkahku. Pelahan, aku pun mulai ikut menari bersama mereka. Ya, aku menari bersama kekalahan dan kehinaan. Menari dan terus menari. Hingga tak lagi kusadari arti sebuah kehilangan, tak lagi kurasakan arti penyesalan. Yang ada hanyalah kekalahan dan kehinaan. Menari dan terus menari.
Tak berapa lama, mimpi - yang biasa datang saat aku terlena - menyadarkanku. Aku merangkul kekalahan dan kehinaan, dan kuajak serta untuk ikut bersamaku. Lalu, kami bertiga kembali menari hingga kami terlena dan mimpi menyelimuti kami. Aku bahkan tak lagi mengerti, mana diriku yang sesungguhnya. Karena kekalahan dan kehinaan, begitu juga mimpi, nyaris sama denganku. Aku adalah kekalahan. Kehinaan adalah aku. Dan mimpi menjelma menjadi keduanya.
Ah, kekalahan.
Ah, kehinaan.
Ah, mimpi.
Mari menari dan terus menari.
Purwokerto, 28 Maret 2008