Jumat, Juni 13, 2008

PEREMPUAN KUCING

Saya mengenal perempuan itu belum lama. Waktu itu tanpa sengaja saya melihat jendela di rumah sebelah yang berada tepat di depan rumah kontrakan saya. Dan tiba-tiba saya melihat ada seorang perempuan di balik jendela tersebut. Saya tidak tahu pasti, sejak kapan perempuan itu berada di sana. Bahkan saya juga tidak ingat sejak kapan rumah itu kembali berpenghuni. Kesibukan saya belakangan ini rupanya telah cukup menyita waktu saya. Khususnya waktu luang saya. Setiap hari saya harus berangkat pagi dan pulang menjelang tengah malam. Meski begitu, pekerjaan seperti tidak pernah selesai. Selalu saja ada pekerjaan setiap harinya. Pekerjaan-pekerjaan itu selalu memaksa saya untuk berangkat pagi dan pulang malam.

Diam-diam saya memperhatikan perempuan itu. Waktu itu sore baru saja menjelang. Kebetulan saya tengah libur dan menyempatkan diri untuk tidak pergi kemanapun. Setelah lelah tidur seharian, saya berjalan ke balkon di samping kamar saya di lantai dua. Dan pandangan saya segera tertuju ke arah jendela rumah sebelah. Letaknya lurus dengan balkon tempat saya berdiri sekarang, juga berada di lantai dua. Hanya saja, kamar di rumah sebelah itu tidak memiliki balkon. Saya bisa melihat dengan jelas, bahkan ke dalam sebagian kamar di balik jendela tersebut. Namun sore itu, perhatian saya tersita oleh sosok perempuan yang kini masih berdiri di samping jendela.

Saya mencoba tersenyum saat perempuan itu tanpa sengaja menoleh ke arah saya. Ia seperti terkejut, namun bibirnya segera menyunggingkan seulas senyum. Saya melambaikan tangan dan perempuan itu membalasnya. Kemudian saya duduk di kursi yang ada di balkon sambil pura-pura membaca koran. Diam-diam, saya terus mengamati perempuan itu. Akhirnya, malam memisahkan kami. Dan lagi-lagi, sebuah lambaian menjadi ucapan perpisahan kami. Jendela tempat perempuan itu pun tertutup, begitu juga pintu balkon kamar saya.

****

Seperti biasa, saya selalu bangun pagi-pagi. Tapi tidak seperti biasa, pagi ini saya terus mengamati jendela di rumah sebelah. Entah sudah berapa hari saya terus mengamati rumah itu. Dan selama itu, saya belum bisa bertemu langsung dengan perempuan tersebut. Seperti hari-hari kemarin, perempuan itu selalu berdiri di samping jendela, dan kami pun bercakap-cakap dengan bahasa isyarat - yang terkadang tidak kami pahami. Kami hanya melempar senyum, melambaikan tangan atau sekedar menganggukkan kepala. Paling tidak saya mengetahui kebiasaan perempuan tersebut. Di samping kebiasaan berdiri di samping jendela, ia juga memiliki kebiasaan membuang sampah pada pagi hari.

Dengan terburu-buru, saya segera keluar rumah. Tangan kiri saya memegang buntalan plastik berisi sampah. Entah sudah berapa hari sampah ini menumpuk di tempat sampah rumah saya. Sebenarnya saya malas untuk membuangnya secara rutin. Kalau sempat saya membuangnya ke tempat sampah yang ada di depan rumah. Tapi kalau tidak sempat, maka saya biarkan saja memenuhi kotak tempat sampah yang ada di dalam rumah. Namun pagi ini saya sudah berniat untuk membuangnya. Bahkan niat ini sudah saya rencanakan sejak semalam. Saya cuma berharap bisa bertemu langsung dengan perempuan dari rumah sebelah.

Perempuan itu keluar sambil menenteng buntalan di tangan kanan dan kirinya. Saya segera meletakkan buntalan sampah milik saya di tempat sampah dan segera berjalan menyeberangi jalan raya yang masih sepi yang memisahkan rumah saya dengan rumah perempuan itu.

Ia menoleh dan tersenyum saat saya menyapanya. Bibir tipisnya tersungging dengan lesung pipit di pipi sebelah kiri. Wajahnya bundar dengan bola mata yang hitam dan hidung kecil. Ia memiliki rambut yang bagus, panjang dan menyentuh bahu. Tubuhnya langsing dan sedikit lebih tinggi dari saya saat ia berdiri di atas trotoar dan saya masih berdiri di jalan raya. Jaket wol sebatas lutut membungkus tubuhnya.

"Dingin sekali pagi ini," saya mencoba mengajaknya bicara sambil merapatkan jaket kulit yang saya pakai. Lagi-lagi ia hanya tersenyum. Saya diam dan membiarkan perempuan itu memunguti sisa-sisa sampah yang berserakan di sekitar tempat sampah. Sesuatu yang nyaris tidak pernah saya lakukan. Bahkan saya tidak tahu sejak kapan ada tempat sampah di depan setiap rumah.

"Oya, ngomong-ngomong nama saya Andre," saya memperkenalkan diri. Waktu saya sempit, batin saya. Sesegera mungkin saya harus mengetahui nama perempuan itu. Setelah itu saya berniat untuk pulang, mandi, sarapan dan segera berangkat kerja.

"Hmm... boleh tahu namamu?" Terdengar seperti paksaan. Tapi sejujurnya saat ini saya benar-benar ingin segera tahu namanya. Dan terpaksa saya sedikit memaksanya - kalau boleh dibilang memaksa - karena ia hanya tersenyum.

"Miauwww... miauwww..."

Saya terkejut saat mendengar jawaban perempuan itu. Apa saya salah dengar? Barangkali dinginnya pagi telah sedikit merusak pendengaran saya. Atau saya mendengar suara yang lain? Saya benar-benar bingung.

"Miauww miauwww miauwww."

Saya pun sadar, bukan saya yang salah dengar. Perempuan itu benar-benar bersuara seperti kucing. Tepatnya kucing kecil. Disamping suaranya sedikit lirih, nadanya juga terdengar manja. Saya masih tertegun, bahkan saat perempuan itu kembali bersuara dan bergegas meninggalkan saya.

****

"Oh, perempuan kucing? Kami memanggilnya demikian, karena ia tidak bisa bersuara kecuali suara kucing."

Saya hanya mengangguk-angguk mendengar penuturan salah seorang tetangga. Karena rasa penasaran, saya pun mencoba mencari tahu tentang perempuan tersebut. Dan mereka menyebutnya sebagai perempuan kucing. Saya tak habis pikir bagaimana ia bisa seperti itu.

"Dulu sewaktu ibunya hamil, ia ngidam kucing," kata salah seorang tetangga.

"Ia pernah dikutuk karena menganiaya seekor kucing kecil. Ia dikutuk sehingga suaranya berganti menjadi suara kucing. Dan kucing yang dulu pernah ia aniaya, sekarang bisa berbicara. Namun, kucing itu entah di mana. Tidak ada seorangpun yang tahu. Konon, mereka bisa menukar suara mereka masing-masing, dengan syarat si perempuan meminta maaf kepada kucing tersebut," jawab tetangga yang lain.

"Waktu kecil, ia pernah bermain dengan seekor kucing kecil. Dan tanpa sengaja, ia memakan kucing kecil itu, sehingga suaranya pun berubah menjadi suara kucing," komentar tetangga yang lain lagi.

Saya kecewa karena saya tidak bisa mengetahui secara pasti siapa sebenarnya perempuan itu. Terlebih lagi, saya juga tidak bisa mengetahui kenapa perempuan itu bisa bersuara seperti suara kucing. Namun saya merasakan bahwa perempuan itu dianggap aneh oleh orang-orang disekelilingnya. Terkadang saat tanpa sengaja kami berpapasan, saya bisa melihat wajahnya yang sayu. Mungkin itu penyebab kenapa ia sering termenung di balik jendela kamarnya. Apakah ia merasa kesepian?

****

Cukup lama juga saya mengenalnya. Seorang perempuan kucing, atau tepatnya perempuan yang bersuara kucing. Saya merasa bahwa saya sudah benar-benar mengenalnya. Perempuan tersebut nampaknya juga menerima saya dengan baik. Saya sering memperhatikan perubahan pada wajahnya, baik saat sedang bersama dengan saya maupun saat ia tengah termenung di balik jendela. Ia selalu tertawa dan berusaha bercerita dengan bahasanya sendiri. Meski saya tidak paham, namun saya bisa merasakan nada-nada gembira dalam suaranya. Bahkan, sudah beberapa kali saya menyempatkan diri mampir ke rumahnya.

Saya merasakan ada sesuatu yang hadir dalam hati saya. Seperti rasa rindu. Saya hanya tersenyum saat membayangkan hal tersebut. Barangkali karena saya kesepian, saya selalu mencoba menganggap perasaan itu sebagai sesuatu yang biasa saja. Tapi entah kenapa, selalu saja ada perasaan-perasaan aneh yang hadir mengisi hati saya. Dan pelahan saya mulai mencoba untuk menafsirkannya.

Pada sebuah sore, saat mentari baru separoh tenggelam di balik cakrawala barat, saya bergegas menemuinya. Sore itu saya sudah berniat untuk mengutarakan perasaan saya kepadanya. Sebuah perasaan yang selama ini selalu saya coba mengingkarinya. Saya benar-benar telah jatuh cinta kepadanya.

Perempuan itu hanya terdiam sambil menatap tajam ke arah saya. Dengan terbata-bata dan perasaan yang membuncah, saya telah berhasil mengungkapkan perasaan saya. Apakah kata-kata saya telah menyinggung perasaannya? Atau ia meminta waktu untuk berpikir? Atau ia akan menolak saya? Sesuatu yang tidak saya harapkan.

"Miauwww... miauw... miauuwwww...." Nada suaranya terdengar aneh di telinga saya. Dan saya benar-benar tidak bisa memahaminya.

"Miauw... miauwww...miauw miauwww..." ia masih saja bersuara sambil sesekali tangannya bergerak-gerak. Dan saya hanya berdiri dengan dahi berkerut.

Meonggg.... meongggg....

Saya terkejut saat tiba-tiba ada seekor kucing yang muncul di antara kami. Tidak hanya seekor, tapi ada dua ekor, tiga ekor, empat ekor serta beberapa ekor lagi. Lalu, kucing-kucing itu berkerumun di sekeliling perempuan tersebut. Suara mereka sangat ramai. Barangkali mereka tengah berdiskusi, batin saya.

Meonggg... meooonggg....

Miauuwww... miauuwwww...

Meooonggggg

Perempuan itu tertawa sambil sesekali bergulingan di atas lantai. Dan kucing-kucing itu pun saling bersuara dengan riuh sambil sesekali saling berpelukan, berkejaran, mencakar dan ada juga yang naik ke atas kursi. Saya diam memperhatikan semuanya. Saya bisa melihat wajah perempuan itu begitu gembira, belum pernah saya melihat wajahnya segembira sekarang. Nada suaranya juga terdengar lebih manja.

Suara perempuan kucing dan kucing-kucingnya masih saja terdengar ramai saat saya dengan lemas meninggalkan rumah tersebut. Ia tidak menolak saya, juga tidak menerima saya. Saya pun sadar, perempuan itu tidak sedang kesepian - berbeda dengan diri saya. Dan saya pun sadar, perempuan itu sebenarnya tidak pernah mengharapkan saya. Barangkali saya perlu belajar bahasa kucing supaya saya bisa memahami perempuan itu.

Purwokerto, 12 Juni 2008

Untuk perempuan kucing, ajari aku bahasamu, aku akan memahamimu

Rabu, Mei 07, 2008

KEPADA KATA-KATA

Aku tak bisa lagi menulis. Meski malam yang gelap tak akan habis aku jadikan tinta. Dan siang yang benderang tak akan punah aku jadikan lembaran-lembaran tempat pena menari. Sementara ide-ide terus saja mengalir memenuhi lubuk benakku. Dan peristiwa-peristiwa terus saja bercerita.

Sejujurnya aku telah bercerai dengan kata-kata. Saat ia tak lagi menganggapku ada. Hanya karena aku tak mau lagi bicara. Dan jemariku tak mampu lagi memeluk pena. Telingaku pun tak mendengar suara-suara legenda. Aku juga tak bisa lagi membaca, meski kisah-kisah menari di depan mata.

Ah, apalah jadinya, saat penulis kehilangan kata-kata.

Purwokerto, 07 Mei 2008

Rabu, April 16, 2008

AKU, YANG TERKALAHKAN

Untuk rembulan: rasa itu telah tenggelam, di ufuk barat langit jiwaku, seiring diriku yang menghilang dari kenanganmu. (el-moesafeer)


Sekarang, pada sebuah senja.

Aku terdiam dan tetap berdiri di atas pasir basah yang lembut. Dan di hadapanku, terbentang luas samudera yang ombaknya saling berkejaran mengantar mentari senja tenggelam di balik peraduan cakrawala. Pelahan, mentari pun menghilang, hanya menyisakan larik-larik keemasan yang memantul pada mega-mega. Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya pelahan. Ada sesak yang menghimpit dada.

"Pergilah," bisikku lirih, kepada mentari yang baru saja purna. "Engkau telah mengalahkanku," lanjutku, kepada mentari yang baru saja hilang dari pandangan.

Aku duduk di atas pasir yang lembut, tak kuperdulikan lagi ombak-ombak yang kini saling berkejaran ke arahku. Malam mulai menjelang. Ah, bagiku malam dan siang tiada beda. Sama-sama tak berarti bagiku. Meski ada mentari saat siang dan ada rembulan kala malam. Mentari, ia telah mengalahkanku. Dan rembulan, ia tak mungkin lagi aku miliki. Karena rembulan telah memilih mentari.

Dahulu, pada sebuah pagi.

Aku terjaga dari mimpi, sebuah mimpi yang terasa-rasa tak mungkin untuk terwujud, namun aku menikmatinya. Kemarin, angin sepoi yang berhembus telah membisikkan ke telingaku, bahwa hari ini rembulan tengah berulang tahun. Ah, ulang tahun. Aku telah berencana untuk memberikan kenang-kenangan untuknya. Dan hari ini, adalah hari yang aku tunggu-tunggu. Hari ini, tepat pada hari ulang tahunnya, aku akan memberikan kenang-kenangan itu kepadanya.

Aku berjalan pelahan ke tempat rembulan. Dari angin sepoi yang berhembus pula, aku tahu di mana rembulan berada. Namun langkahku terhenti, saat mataku melihat mentari tengah ada di sisi rembulan. Ah, aku terlambat, batinku resah. Mentari nampak bersinar dengan terang, sebagian cahayanya memantul pada rembulan. Ia menghadiahkan sepotong pelangi kepada rembulan. Juga beberapa keping gemintang dan sepotong senja. Ah, sangat istimewa. Sedangkan aku? Aku tersenyum pahit saat menyadari hadiah yang akan aku berikan. Hanya sekuntum awan. Ya, hanya itu. Aku pernah berharap, awan itu akan menjadi hadiah teristimewa bagi rembulan. Namun kini aku sadar, sekuntum awan tak berarti sama sekali dibandingkan hadiah-hadiah dari mentari. Ah, bahkan, sekuntum awan itu akan lenyap saat angin sepoi berhembus, menyisakan tangkainya yang layu.

Aku terdiam dan memandang rembulan yang tengah berseri-seri menerima segala pemberian dari mentari. Alangkah senangnya, gumamku. Aku masih terdiam dan tiba-tiba ada rasa kehilangan yang menyelinap dalam dada. Tak lama, kekalahan berdiri di hadapanku. Tidak hanya kekahalan, tapi juga kehinaan. Kemudian mereka menari mengelilingiku. Kekalahan dan kehinaan terus menari, bahkan mereka juga membujukku untuk ikut menari. Namun, aku menolak. Akhirnya, aku pun melangkah menjauhi mereka - rembulan dan mentari. Sementara kekalahan dan kehinaan terus saja menari mengikuti jejak-jejak langkahku. Pelahan, aku pun mulai ikut menari bersama mereka. Ya, aku menari bersama kekalahan dan kehinaan. Menari dan terus menari. Hingga tak lagi kusadari arti sebuah kehilangan, tak lagi kurasakan arti penyesalan. Yang ada hanyalah kekalahan dan kehinaan. Menari dan terus menari.

Tak berapa lama, mimpi - yang biasa datang saat aku terlena - menyadarkanku. Aku merangkul kekalahan dan kehinaan, dan kuajak serta untuk ikut bersamaku. Lalu, kami bertiga kembali menari hingga kami terlena dan mimpi menyelimuti kami. Aku bahkan tak lagi mengerti, mana diriku yang sesungguhnya. Karena kekalahan dan kehinaan, begitu juga mimpi, nyaris sama denganku. Aku adalah kekalahan. Kehinaan adalah aku. Dan mimpi menjelma menjadi keduanya.

Ah, kekalahan.
Ah, kehinaan.
Ah, mimpi.
Mari menari dan terus menari.

Purwokerto, 28 Maret 2008


Jumat, Maret 28, 2008

RENCANA YANG GAGAL

Dari kemarin, tepatnya sekitar beberapa hari yang lalu, saya telah berencana untuk pulang ke rumah. Entah kenapa, saya ingin pulang. Padahal biasanya saya malas untuk pulang. Mungkin lidah saya sudah mulai tidak cocok dengan masakan-masakan yang saya makan di tempat rantau. Dan sekarang lidah saya membujuk saya untuk pulang ke rumah. Sekedar merasakan makanan bikinan rumah.

Akhirnya, sayapun memilih-milih hari yang baik untuk pulang. Paling tidak, semalam saya ingin di rumah. Setelah memilih-milih, akhirnya saya pun menentukan hari untuk pulang. Namun sayang, entah kenapa sesuatu yang direncanakan selalu sering gagal. Begitu juga dengan rencana kepulangan saya, yang meski tidak saya rencanakan secara matang, akhirnya gagal juga.

Sekarang, saya kembali harus berhadapan dengan layar komputer dan menjelma menjadi hantu di dunia maya - tanpa wujud, tanpa suara. Hanya sebuah nama yang bergentayangan menyusuri gelapnya dunia maya ini. Ditemani beberapa batang rokok - yang saya sendiri sebenarnya telah berusaha untuk menghindarinya, namun entah kenapa saya selalu membutuhkannya - dan beberapa rencana untuk browsing atau sekedar main game. Dan lagi-lagi, rencana saya itu gagal. Setelah saya di depan komputer, menyalakan sebatang rokok, sementara senja baru saja tenggelam di cakrawala barat, saya lebih tertarik membuka beberapa dokumen saya. Hanya melihat-lihat memang. Nyaris tidak sesuai dengan tujuan awal saya. Bahkan, akhirnya saya - yang terus terang tidak ada rencana mem-posting di blog - membuka blog dan membuat posting baru.

Mungkin, setelah mem-posting tulisan ini, saya akan kembali pada tujuan semula saya berinternet. Mungkin sebentar lagi saya akan menyalakan messenger, menyapa hantu-hantu dunia maya yang lain, sekedar browsing, dan diakhiri dengan bermain game - yang entah kapan berakhirnya. Dan rencana kepulangan saya menjadi sedikit tertunda. Bahkan, saya juga menunda untuk membuat rencana kepulangan. Saat ini saya cuma ingin menghabiskan waktu malam saya, di depan komputer, mencoba menulisi dinding-dinding dunia maya dengan coretan-coretan yang mungkin saya sendiri tidak begitu paham. Malam akan saya tumpahkan di monitor komputer saya. Meski saya ragu, apakah rencana saya ini akan berjalan?


Purwokerto, 28 Maret 2008
mencoba memindah malam ke dalam riuh dunia maya

Selasa, Maret 04, 2008

DI SUATU PAGI

Waktu menunjukkan pukul 3:45 dini hari. Saya kebetulan tengah sendiri, meski ada beberapa orang user yang sedang bermain internet. Saat itu, tiba-tiba saja datang seorang lelaki separuh baya. Pakaiannya sedikit kotor dipadu dengan celana sebatas lutut yang juga ada bercak-bercak kotorannya. Ia memakai topi yang terbuat dari benang wol, mungkin untuk menghangatkan kepalanya. Kebetulan bulan ini adalah bulan yang dingin.

Kemudian, ia bertanya apakah ada minuman ringan? Dan saya menjawabnya ada. Lalu, lelaki tersebut mengambil sebotol minuman ringan dan duduk di belakang saya sambil menikmati minuman tersebut sambil menyalakan sebatang rokok.

Entah kenapa, semenjak kedatangan lelaki paruh baya tersebut, saya merasa sedikit curiga. Tidak salah - menurut saya - kalau saya berjaga-jaga. Meski daerah tempat saya termasuk cukup aman, namun apa salahnya sedikit waspada. Saya memperhatikan lelaki tersebut melalui layar monitor yang kebetulan menghadap ke arahnya. Saya sedikit mengamati gerak geriknya. Saya juga tidak mengajaknya mengobrol ataupun sekedar bertanya sesuatu kepadanya. Entahlah, saat itu saya benar-benar sedang dalam kondisi negative thinking. Bahkan sempat terlintas dalam benak saya, bahwa lelaki separuh baya tersebut berniat jahat terhadap saya.

Beberapa menit kemudian, lelaki tersebut menanyakan waktu saat itu. Saya menjawabnya dengan jawaban yang pendek. Kemudian lelaki tersebut menghabiskan minumannya dan bertanya berapa harganya. Saya menjawabnya. Kemudian saya berpaling ke arah lelaki tersebut untuk menerima uang yang disodorkannya. Saya sedikit terkejut saat melihat matanya. Salah satu matanya juling. Jujur saja saya paling tidak tega melihat orang yang memiliki kekurangan. Saya juga bisa melihat gurat-gurat kelelahan yang ada di wajahnya. Dan entah kenapa, tiba-tiba saya merasa sangat bersalah. Tangan saya sempat bergetar saat menerima uang dari lelaki tersebut.

Setelah membayar dan menerima kembaliannya, lelaki tersebut segera keluar dan pergi. Saya yang masih diliputi rasa bersalah, kemudian keluar dan melihat lelaki tersebut pergi sambil mendorong sepeda dengan keranjang di bagian belakangnya. Saya tertegun. Lelaki itu mungkin dari pasar, dan dia kehausan di jalan, begitu batin saya. Ia ke tempat saya dan membeli minuman, bukan merampoknya. Saya benar-benar merasa sangat bersalah karena telah menduga yang tidak baik, meski hanya dalam hati. Ingin rasanya saya meminta maaf, namun lelaki tersebut telah hilang di kegelapan pagi yang dingin.

Purwokerto,
4 Maret 2008
4:18

BAYANG-BAYANG MASA LALU

Saya terkejut saat tiba-tiba saja terdengar sebuah teriakan yang sangat keras. Saat itu saya langsung terbangun dari tidur saya. Jantung saya berdegup dengan kencang, keringat dingin berleleran di tubuh saya. Bukan karena teriakan tersebut yang menyebabkan saya terkejut. Bukan pula karena teriakan tersebut terdengar saat tengah malam. Namun, saya lebih terkejut karena sayalah yang berteriak.

Saya seger menuju jendela, menyibakkan gordennya dan menatap keluar. Sepertinya tidak ada yang merasa terganggu dengan teriakan saya. Gerimis sedari sore dan angin yang dingin, mungkin telah memaksa orang-orang untuk tidak keluar rumah dan lebih memilih berdiam di dalam rumah. Saya bisa melihat jalanan yang lengang dan hanya lampu-lampu beranda rumah tetangga yang masih menyala. Saya sedikit yakin dan lega karena tidak ada orang yang terganggu dengan teriakan saya barusan.

Saya kembali ke tempat tidur. Tidak tidur memang, seperti saat saya berteriak, sebenarnya saya juga tidak sedang tidur. Entah apa yang saya lamunkan, tiba-tiba saja ada dorongan untuk berteriak, dan saya pun berteriak. Saya kembali termenung di atas tempat tidur, menatap lekat-lekat langit-langit kamar, menggambar bayang-bayang masa silam. Tiba-tiba saja beberapa gambar masa silam yang saya gambar di langit-langit kamar itu berjatuhan menimpa tubuh saya, meski saya sudah berusaha untuk menghindar. Saya meringis menahan perih. Bayang-bayang masa lalu itu begitu beratnya menimpa tubuh saya.

Tanpa saya sadari, bayang-bayang masa lalu itu kemudian bergerak dan mulai mendekati saya. Sambil menahan sakit, saya berusaha untuk menjauh dari mereka. Namun, rasa sakit saya membuat gerakan saya semakin lemah. Akhirnya, bayang-bayang masa lalu itu berhasil merengkuh tubuh saya dan memeluk saya erat-erat. Saya mencoba berontak, berusaha melepaskan diri. Namun usaha saya sia-sia. Mereka terlalu kuat mencengkeram saya. Nafas saya terengah-engah dan tenaga saya semakin melemah. Akhirnya, saya pun tak berdaya dalam pelukan bayang-bayang masa lalu saya. Dan saya pun menghabiskan malam itu bersama dengan bayang-bayang masa lalu saya.

Saya sempat menyesal kenapa saya menggambar bayang-bayang masa lalu saya. Seharusnya saya tidak usah menggambarkannya tadi. Namun semua sudah terlanjur. Bayang-bayang itu kini bercerita tentang kisah-kisah saya di masa itu. Mereka berbicara, kadang dengan berteriak, kadang dengan berbisik, kadang hanya komat-kamit di telinga saya. Menjadikan telinga saya terasa gatal dan panas. Saya mencoba memejamkan mata dan berharap semuanya akan segera berakhir. Namun, saat saya membuka mata, bayang-bayang masa lalu itu masih ada. Dan telinga saya semakin terasa sakit. Akhirnya, saya pun berteriak, dengan sadar.

Saya segera bangkit dan berlari menuju jendela. Sementara bayang-bayang masa lalu menghilang entah kemana. Saya berdiri di depan jendela dan mengintip keluar. Saya benar-benar khawatir dan takut, kalau-kalau tetangga-tetangga saya mendengar teriakan saya dan merasa terganggu. Namun, kekhawatiran saya rupanya tak terbukti. Jalanan masih lengang dan rumah-rumah di sekeliling tempat saya seperti tidak merasa terusik. Hanya gerimis yang pelahan mulai menderas.

Saya masih berdiri di depan jendela dan memandang ke arah tempat tidur saya, lalu ke langit-langit kamar. Saya masih merasa enggan untuk kembali berbaring. Khawatir bayang-bayang masa lalu saya kembali datang. Saya hanya berdiri saja, meski mata saya mulai merasa mengantuk. Saya terpejam, sejenak. Sedetik kemudian, saya kembali terkejut, karena bayang-bayang masa lalu yang lain menjelma di depan saya. Rupanya ia hadir saat saya tanpa sengaja terpejam. Seperti masa lalu saya yang terdahulu, ia pun segera mendekati saya dan memeluk saya erat-erat. Saya pun berontak dan meronta-ronta. Ia mulai bercerita tentang kenangan masa lalu dan membuat saya semakin meronta. Akhirnya, saya kembali berteriak. Keras dan keras. Namun, tidak seperti bayangan masa lalu saya yang pertama. Bayangan masa lalu saya ini tetap tidak mau menghilang meski saya sudah berteriak dengan sangat keras. Ia masih berdiri di hadapan saya dan pelahan mulai mendekati saya dan hendak merengkuh tubuh saya.

Entah kenapa, saya merasa sangat takut. Saya memutuskan untuk keluar dari rumah. Namun, bayangan masa lalu saya itu terus mengikuti. Akhirnya saya berlari sambil berteriak-teriak mengusir masa lalu saya. Beberapa lampu di rumah tetangga mulai menyala, namun saya tidak perduli. Saya terus berlari menerobos hujan yang pelahan kian deras. Berlari dan terus berlari, mencoba menjauh dari bayang-bayang masa lalu saya.

Purwokerto,
04 Maret 2008

Sabtu, Maret 01, 2008

MALAM MINGGU

Malam ini adalah malam minggu, dan gerimis turun pelahan. Seperti malam-malam sebelumnya, gerimis selalu mengawali pergantian senja menuju malam. Kadang gerimis, tak jarang hanya hujan yang deras. Bulan Maret, bulan yang seharusnya telah basah dan dingin, malah menjadi sebuah permulaan untuk suatu musim yaitu musim penghujan.

Saya agak malas sebenarnya untuk keluar dalam keadaan gerimis seperti itu. Takut sakit. Karena hujan kali ini adalah hujan permulaan. Kata orang, hujan seperti ini gampang sekali menyebabkan sakit. Ditambah lagi kondisi saya yang lagi tidak karuan beberapa hari belakangan ini. Mungkin, pergantian cuaca tidak cocok di tubuh saya. Namun, dengan sedikit terpaksa, saya keluar juga. Pergi ke warung. Tujuan saya pasti, membeli rokok. Mulut ini terasa tidak bisa ditawar-tawar lagi apabila tengah kepingin merokok. Bahkan, saya bisa menaklukkan perut saya untuk tidak makan, tapi saya selalu kalah dengan mulut saya ini yang sedang kepengin merokok.

Saya sempat menimbang-nimbang, apakah saya akan keluar atau nitip sama teman saja. Namun sayangnya, tidak ada seorangpun yang berniat keluar. Akhirnya, dengan sedikit terpaksa, saya keluar juga. Saya berjalan menyusuri gerimis di sepanjang jalan yang basah. Saya menutupi kepala saya dengan tangan kanan, khawatir terlalu banyak siraman gerimis yang membasahi kepala saya. Dengan sedikit berjalan cepat, akhirnya saya sampai di warung tujuan saya.

"Rokok, pak. Satu bungkus," kata saya kepada pemilik warung.

Sial! batin saya. Kenapa jadi satu bungkus? Padahal dari rumah, saya hanya berniat untuk membeli rokok separuh bungkus saja. Tapi entah kenapa, saya hanya diam meskipun saya menyadari bahwa saya telah melakukan sebuah kesalahan. Bahkan saya tidak sempat berpikir dua kali, apakah uang yang saya bawa akan cukup untuk membayar rokok sebungkus. Sepertinya saya juga tidak berpikir apakah saya masih punya uang untuk membeli keperluan yang lain besok hari. Saya benar-benar seperti terhipnotis. Saya tidak bisa mempertimbangkan keadaan. Saya hanya diam, bahkan ketika si pemilik warung menyodorkan satu bungkus rokok pesanan saya. Sialnya lagi, tanpa sengaja, mata saya melihat jajanan yang terpajang di etalase warung. Dan mata saya terpana pada bungkusan besar berisi keripik singkong berwarna merah dan pedas rasanya, yang merupakan jajanan favorit saya. Tiba-tiba saja, saya sudah memesannya. Dan sekali lagi, saya hanya diam, bahkan seperti tidak mencoba untuk menimbang lagi. Saya hanya berpikir pada saat ini gerimis tengah turun, sebentar lagi mungkin akan turun hujan deras dan hawanya pasti dingin. Akan sangat mengasyikkan apabila saya duduk di depan televisi atau komputer sambil sesekali menghirup rokok dan memakan jajanan kesukaan saya itu. Hmm... betapa nikmatnya hidup ini.

Akhirnya, saya pun pulang. Seperti saat saya datang ke warung, pada saat pulang, saya juga harus melewati gerimis yang pelahan rupanya telah mulai menderas. Saya berlari-lari kecil, ingin segera sampai di rumah. Seingat saya, di rumah masih ada teh celup. Dan saya bisa menghabiskan malam ini dengan sajian teh celup, rokok dan jajanan favorit saya. Saya menelan ludah membayangkan semuanya. Meski di satu sisi hati saya yang lain, saya merasa menyesal. Sesore ini saya telah menghabiskan uang lumayan banyak. Tapi, sekali lagi, saya seperti tidak perduli.

Sesampainya di rumah, saya segera pergi ke kamar mandi. Membasuh rambut dengan air sumur. Kata orang, itu untuk mencegah supaya saya tidak sakit setelah kehujanan tadi. Setelah itu, dengan bergegas saya membuat teh celup panas, lalu mulai berpikir, apakah saya akan menonton televisi atau bermain komputer? Menonton televisi di malam minggu? Biasanya tidak banyak acara yang bagus di televisi pada hari seperti ini. Atau bermain komputer? Saya bisa menghabiskan berjam-jam di depan komputer. Dari sekedar iseng main game, sampai mengedit blog ataupun chatting. Saya hanya berdiri sambil menimbang-nimbang mana yang akan saya ajak bermalam mingguan, televisi atau komputer? Mulut saya sudah terpasang sebatang rokok yang telah menyala, di tangan kanan saya memegang teh celup panas dan di tangan kiri saya ada jajanan keripik singkong kesukaan saya. Saya masih berdiri, dan gerimis telah mulai menderas disertai beberapa kali kerjapan kilat dan gelegar petir. Saya bingung. Tiba-tiba....

DUAAARRR!!!

Suara petir menggelegar menggema ke segenap penjuru, bersamaan dengan padamnya listrik. Saya sempat mendengar beberapa orang diluar dan di rumah sebelah yang berteriak kaget, terkejut karena suara petir dan karena listrik yang padam. Saya masih berdiri, namun saya sudah tidak menimbang-nimbang lagi. Karena saya tahu, kedua-duanya - televisi maupun komputer - tidak bisa saya nikmati malam ini. Akhirnya, saya menghabiskan teh celup panas, rokok dan keripik singkong sambil menunggu listrik menyala.


Purwokerto,
awal Maret yang basah, 2008

Senin, Februari 11, 2008

.....

Aku pulang, batinku.
Telah lama aku meninggalkan rumah ini. Sebuah rumah yang dulu aku bangun dengan bulir-bulir lelah, beratap angan-angan, berdinding khayalan, berjendela pintu impian. Ah... rumah ilusiku. Masihkah ia mengenalku, setelah sekian lama jeda di antara kita? Semoga.

Aku berdiri di depannya - sejenak - sekedar memastikan bahwa ini adalah rumah ilusiku, yang dulu pernah aku bangun. Tanpa pekarangan, tanpa halaman. Pelahan aku masuk ke dalamnya. Kotor dan berdebu. Ah... kamar itu masih sama. Sebuah kamar sempit tanpa jendela. Semua tak berubah, hanya sisa-sisa waktu yang mengelupas pada dinding-dindingnya. Lembaran-lembaran itu masih terserak di sana. Sebagian menggumpal bekas remasan tangan. Sebagian tersebar pada lantainya. Kosong. Hanya berisi abstraksi perpaduan debu dan waktu. Sebuah lukisan tanpa kata. Istirah sejenak sebelum membangun kembali kenangan-kenangan masa lalu.

Rupanya telah lama benar aku berkelana. Sekedar mencari apa yang ingin aku miliki. Lelah telah memaksaku kembali. Aku ingin diam sejenak, mungkin esok aku akan bercerita. Tentang kenangan-kenangan masa lalu, tentang sepenggal perjalanan hidup, tentang mimpi-mimpi masa depan dan tentang segalanya. Mungkin, kelak.

Purwokerto, 11 Februari 2008 (melepas lelah sejenak, sebelum kembali bercerita)

....

aku menjelma hujan
aku jatuh
aku luruh

Purwokerto, 11 Februari 2008 (mengantar senja menuju peraduan)