Jumat, Maret 28, 2008

RENCANA YANG GAGAL

Dari kemarin, tepatnya sekitar beberapa hari yang lalu, saya telah berencana untuk pulang ke rumah. Entah kenapa, saya ingin pulang. Padahal biasanya saya malas untuk pulang. Mungkin lidah saya sudah mulai tidak cocok dengan masakan-masakan yang saya makan di tempat rantau. Dan sekarang lidah saya membujuk saya untuk pulang ke rumah. Sekedar merasakan makanan bikinan rumah.

Akhirnya, sayapun memilih-milih hari yang baik untuk pulang. Paling tidak, semalam saya ingin di rumah. Setelah memilih-milih, akhirnya saya pun menentukan hari untuk pulang. Namun sayang, entah kenapa sesuatu yang direncanakan selalu sering gagal. Begitu juga dengan rencana kepulangan saya, yang meski tidak saya rencanakan secara matang, akhirnya gagal juga.

Sekarang, saya kembali harus berhadapan dengan layar komputer dan menjelma menjadi hantu di dunia maya - tanpa wujud, tanpa suara. Hanya sebuah nama yang bergentayangan menyusuri gelapnya dunia maya ini. Ditemani beberapa batang rokok - yang saya sendiri sebenarnya telah berusaha untuk menghindarinya, namun entah kenapa saya selalu membutuhkannya - dan beberapa rencana untuk browsing atau sekedar main game. Dan lagi-lagi, rencana saya itu gagal. Setelah saya di depan komputer, menyalakan sebatang rokok, sementara senja baru saja tenggelam di cakrawala barat, saya lebih tertarik membuka beberapa dokumen saya. Hanya melihat-lihat memang. Nyaris tidak sesuai dengan tujuan awal saya. Bahkan, akhirnya saya - yang terus terang tidak ada rencana mem-posting di blog - membuka blog dan membuat posting baru.

Mungkin, setelah mem-posting tulisan ini, saya akan kembali pada tujuan semula saya berinternet. Mungkin sebentar lagi saya akan menyalakan messenger, menyapa hantu-hantu dunia maya yang lain, sekedar browsing, dan diakhiri dengan bermain game - yang entah kapan berakhirnya. Dan rencana kepulangan saya menjadi sedikit tertunda. Bahkan, saya juga menunda untuk membuat rencana kepulangan. Saat ini saya cuma ingin menghabiskan waktu malam saya, di depan komputer, mencoba menulisi dinding-dinding dunia maya dengan coretan-coretan yang mungkin saya sendiri tidak begitu paham. Malam akan saya tumpahkan di monitor komputer saya. Meski saya ragu, apakah rencana saya ini akan berjalan?


Purwokerto, 28 Maret 2008
mencoba memindah malam ke dalam riuh dunia maya

Selasa, Maret 04, 2008

DI SUATU PAGI

Waktu menunjukkan pukul 3:45 dini hari. Saya kebetulan tengah sendiri, meski ada beberapa orang user yang sedang bermain internet. Saat itu, tiba-tiba saja datang seorang lelaki separuh baya. Pakaiannya sedikit kotor dipadu dengan celana sebatas lutut yang juga ada bercak-bercak kotorannya. Ia memakai topi yang terbuat dari benang wol, mungkin untuk menghangatkan kepalanya. Kebetulan bulan ini adalah bulan yang dingin.

Kemudian, ia bertanya apakah ada minuman ringan? Dan saya menjawabnya ada. Lalu, lelaki tersebut mengambil sebotol minuman ringan dan duduk di belakang saya sambil menikmati minuman tersebut sambil menyalakan sebatang rokok.

Entah kenapa, semenjak kedatangan lelaki paruh baya tersebut, saya merasa sedikit curiga. Tidak salah - menurut saya - kalau saya berjaga-jaga. Meski daerah tempat saya termasuk cukup aman, namun apa salahnya sedikit waspada. Saya memperhatikan lelaki tersebut melalui layar monitor yang kebetulan menghadap ke arahnya. Saya sedikit mengamati gerak geriknya. Saya juga tidak mengajaknya mengobrol ataupun sekedar bertanya sesuatu kepadanya. Entahlah, saat itu saya benar-benar sedang dalam kondisi negative thinking. Bahkan sempat terlintas dalam benak saya, bahwa lelaki separuh baya tersebut berniat jahat terhadap saya.

Beberapa menit kemudian, lelaki tersebut menanyakan waktu saat itu. Saya menjawabnya dengan jawaban yang pendek. Kemudian lelaki tersebut menghabiskan minumannya dan bertanya berapa harganya. Saya menjawabnya. Kemudian saya berpaling ke arah lelaki tersebut untuk menerima uang yang disodorkannya. Saya sedikit terkejut saat melihat matanya. Salah satu matanya juling. Jujur saja saya paling tidak tega melihat orang yang memiliki kekurangan. Saya juga bisa melihat gurat-gurat kelelahan yang ada di wajahnya. Dan entah kenapa, tiba-tiba saya merasa sangat bersalah. Tangan saya sempat bergetar saat menerima uang dari lelaki tersebut.

Setelah membayar dan menerima kembaliannya, lelaki tersebut segera keluar dan pergi. Saya yang masih diliputi rasa bersalah, kemudian keluar dan melihat lelaki tersebut pergi sambil mendorong sepeda dengan keranjang di bagian belakangnya. Saya tertegun. Lelaki itu mungkin dari pasar, dan dia kehausan di jalan, begitu batin saya. Ia ke tempat saya dan membeli minuman, bukan merampoknya. Saya benar-benar merasa sangat bersalah karena telah menduga yang tidak baik, meski hanya dalam hati. Ingin rasanya saya meminta maaf, namun lelaki tersebut telah hilang di kegelapan pagi yang dingin.

Purwokerto,
4 Maret 2008
4:18

BAYANG-BAYANG MASA LALU

Saya terkejut saat tiba-tiba saja terdengar sebuah teriakan yang sangat keras. Saat itu saya langsung terbangun dari tidur saya. Jantung saya berdegup dengan kencang, keringat dingin berleleran di tubuh saya. Bukan karena teriakan tersebut yang menyebabkan saya terkejut. Bukan pula karena teriakan tersebut terdengar saat tengah malam. Namun, saya lebih terkejut karena sayalah yang berteriak.

Saya seger menuju jendela, menyibakkan gordennya dan menatap keluar. Sepertinya tidak ada yang merasa terganggu dengan teriakan saya. Gerimis sedari sore dan angin yang dingin, mungkin telah memaksa orang-orang untuk tidak keluar rumah dan lebih memilih berdiam di dalam rumah. Saya bisa melihat jalanan yang lengang dan hanya lampu-lampu beranda rumah tetangga yang masih menyala. Saya sedikit yakin dan lega karena tidak ada orang yang terganggu dengan teriakan saya barusan.

Saya kembali ke tempat tidur. Tidak tidur memang, seperti saat saya berteriak, sebenarnya saya juga tidak sedang tidur. Entah apa yang saya lamunkan, tiba-tiba saja ada dorongan untuk berteriak, dan saya pun berteriak. Saya kembali termenung di atas tempat tidur, menatap lekat-lekat langit-langit kamar, menggambar bayang-bayang masa silam. Tiba-tiba saja beberapa gambar masa silam yang saya gambar di langit-langit kamar itu berjatuhan menimpa tubuh saya, meski saya sudah berusaha untuk menghindar. Saya meringis menahan perih. Bayang-bayang masa lalu itu begitu beratnya menimpa tubuh saya.

Tanpa saya sadari, bayang-bayang masa lalu itu kemudian bergerak dan mulai mendekati saya. Sambil menahan sakit, saya berusaha untuk menjauh dari mereka. Namun, rasa sakit saya membuat gerakan saya semakin lemah. Akhirnya, bayang-bayang masa lalu itu berhasil merengkuh tubuh saya dan memeluk saya erat-erat. Saya mencoba berontak, berusaha melepaskan diri. Namun usaha saya sia-sia. Mereka terlalu kuat mencengkeram saya. Nafas saya terengah-engah dan tenaga saya semakin melemah. Akhirnya, saya pun tak berdaya dalam pelukan bayang-bayang masa lalu saya. Dan saya pun menghabiskan malam itu bersama dengan bayang-bayang masa lalu saya.

Saya sempat menyesal kenapa saya menggambar bayang-bayang masa lalu saya. Seharusnya saya tidak usah menggambarkannya tadi. Namun semua sudah terlanjur. Bayang-bayang itu kini bercerita tentang kisah-kisah saya di masa itu. Mereka berbicara, kadang dengan berteriak, kadang dengan berbisik, kadang hanya komat-kamit di telinga saya. Menjadikan telinga saya terasa gatal dan panas. Saya mencoba memejamkan mata dan berharap semuanya akan segera berakhir. Namun, saat saya membuka mata, bayang-bayang masa lalu itu masih ada. Dan telinga saya semakin terasa sakit. Akhirnya, saya pun berteriak, dengan sadar.

Saya segera bangkit dan berlari menuju jendela. Sementara bayang-bayang masa lalu menghilang entah kemana. Saya berdiri di depan jendela dan mengintip keluar. Saya benar-benar khawatir dan takut, kalau-kalau tetangga-tetangga saya mendengar teriakan saya dan merasa terganggu. Namun, kekhawatiran saya rupanya tak terbukti. Jalanan masih lengang dan rumah-rumah di sekeliling tempat saya seperti tidak merasa terusik. Hanya gerimis yang pelahan mulai menderas.

Saya masih berdiri di depan jendela dan memandang ke arah tempat tidur saya, lalu ke langit-langit kamar. Saya masih merasa enggan untuk kembali berbaring. Khawatir bayang-bayang masa lalu saya kembali datang. Saya hanya berdiri saja, meski mata saya mulai merasa mengantuk. Saya terpejam, sejenak. Sedetik kemudian, saya kembali terkejut, karena bayang-bayang masa lalu yang lain menjelma di depan saya. Rupanya ia hadir saat saya tanpa sengaja terpejam. Seperti masa lalu saya yang terdahulu, ia pun segera mendekati saya dan memeluk saya erat-erat. Saya pun berontak dan meronta-ronta. Ia mulai bercerita tentang kenangan masa lalu dan membuat saya semakin meronta. Akhirnya, saya kembali berteriak. Keras dan keras. Namun, tidak seperti bayangan masa lalu saya yang pertama. Bayangan masa lalu saya ini tetap tidak mau menghilang meski saya sudah berteriak dengan sangat keras. Ia masih berdiri di hadapan saya dan pelahan mulai mendekati saya dan hendak merengkuh tubuh saya.

Entah kenapa, saya merasa sangat takut. Saya memutuskan untuk keluar dari rumah. Namun, bayangan masa lalu saya itu terus mengikuti. Akhirnya saya berlari sambil berteriak-teriak mengusir masa lalu saya. Beberapa lampu di rumah tetangga mulai menyala, namun saya tidak perduli. Saya terus berlari menerobos hujan yang pelahan kian deras. Berlari dan terus berlari, mencoba menjauh dari bayang-bayang masa lalu saya.

Purwokerto,
04 Maret 2008

Sabtu, Maret 01, 2008

MALAM MINGGU

Malam ini adalah malam minggu, dan gerimis turun pelahan. Seperti malam-malam sebelumnya, gerimis selalu mengawali pergantian senja menuju malam. Kadang gerimis, tak jarang hanya hujan yang deras. Bulan Maret, bulan yang seharusnya telah basah dan dingin, malah menjadi sebuah permulaan untuk suatu musim yaitu musim penghujan.

Saya agak malas sebenarnya untuk keluar dalam keadaan gerimis seperti itu. Takut sakit. Karena hujan kali ini adalah hujan permulaan. Kata orang, hujan seperti ini gampang sekali menyebabkan sakit. Ditambah lagi kondisi saya yang lagi tidak karuan beberapa hari belakangan ini. Mungkin, pergantian cuaca tidak cocok di tubuh saya. Namun, dengan sedikit terpaksa, saya keluar juga. Pergi ke warung. Tujuan saya pasti, membeli rokok. Mulut ini terasa tidak bisa ditawar-tawar lagi apabila tengah kepingin merokok. Bahkan, saya bisa menaklukkan perut saya untuk tidak makan, tapi saya selalu kalah dengan mulut saya ini yang sedang kepengin merokok.

Saya sempat menimbang-nimbang, apakah saya akan keluar atau nitip sama teman saja. Namun sayangnya, tidak ada seorangpun yang berniat keluar. Akhirnya, dengan sedikit terpaksa, saya keluar juga. Saya berjalan menyusuri gerimis di sepanjang jalan yang basah. Saya menutupi kepala saya dengan tangan kanan, khawatir terlalu banyak siraman gerimis yang membasahi kepala saya. Dengan sedikit berjalan cepat, akhirnya saya sampai di warung tujuan saya.

"Rokok, pak. Satu bungkus," kata saya kepada pemilik warung.

Sial! batin saya. Kenapa jadi satu bungkus? Padahal dari rumah, saya hanya berniat untuk membeli rokok separuh bungkus saja. Tapi entah kenapa, saya hanya diam meskipun saya menyadari bahwa saya telah melakukan sebuah kesalahan. Bahkan saya tidak sempat berpikir dua kali, apakah uang yang saya bawa akan cukup untuk membayar rokok sebungkus. Sepertinya saya juga tidak berpikir apakah saya masih punya uang untuk membeli keperluan yang lain besok hari. Saya benar-benar seperti terhipnotis. Saya tidak bisa mempertimbangkan keadaan. Saya hanya diam, bahkan ketika si pemilik warung menyodorkan satu bungkus rokok pesanan saya. Sialnya lagi, tanpa sengaja, mata saya melihat jajanan yang terpajang di etalase warung. Dan mata saya terpana pada bungkusan besar berisi keripik singkong berwarna merah dan pedas rasanya, yang merupakan jajanan favorit saya. Tiba-tiba saja, saya sudah memesannya. Dan sekali lagi, saya hanya diam, bahkan seperti tidak mencoba untuk menimbang lagi. Saya hanya berpikir pada saat ini gerimis tengah turun, sebentar lagi mungkin akan turun hujan deras dan hawanya pasti dingin. Akan sangat mengasyikkan apabila saya duduk di depan televisi atau komputer sambil sesekali menghirup rokok dan memakan jajanan kesukaan saya itu. Hmm... betapa nikmatnya hidup ini.

Akhirnya, saya pun pulang. Seperti saat saya datang ke warung, pada saat pulang, saya juga harus melewati gerimis yang pelahan rupanya telah mulai menderas. Saya berlari-lari kecil, ingin segera sampai di rumah. Seingat saya, di rumah masih ada teh celup. Dan saya bisa menghabiskan malam ini dengan sajian teh celup, rokok dan jajanan favorit saya. Saya menelan ludah membayangkan semuanya. Meski di satu sisi hati saya yang lain, saya merasa menyesal. Sesore ini saya telah menghabiskan uang lumayan banyak. Tapi, sekali lagi, saya seperti tidak perduli.

Sesampainya di rumah, saya segera pergi ke kamar mandi. Membasuh rambut dengan air sumur. Kata orang, itu untuk mencegah supaya saya tidak sakit setelah kehujanan tadi. Setelah itu, dengan bergegas saya membuat teh celup panas, lalu mulai berpikir, apakah saya akan menonton televisi atau bermain komputer? Menonton televisi di malam minggu? Biasanya tidak banyak acara yang bagus di televisi pada hari seperti ini. Atau bermain komputer? Saya bisa menghabiskan berjam-jam di depan komputer. Dari sekedar iseng main game, sampai mengedit blog ataupun chatting. Saya hanya berdiri sambil menimbang-nimbang mana yang akan saya ajak bermalam mingguan, televisi atau komputer? Mulut saya sudah terpasang sebatang rokok yang telah menyala, di tangan kanan saya memegang teh celup panas dan di tangan kiri saya ada jajanan keripik singkong kesukaan saya. Saya masih berdiri, dan gerimis telah mulai menderas disertai beberapa kali kerjapan kilat dan gelegar petir. Saya bingung. Tiba-tiba....

DUAAARRR!!!

Suara petir menggelegar menggema ke segenap penjuru, bersamaan dengan padamnya listrik. Saya sempat mendengar beberapa orang diluar dan di rumah sebelah yang berteriak kaget, terkejut karena suara petir dan karena listrik yang padam. Saya masih berdiri, namun saya sudah tidak menimbang-nimbang lagi. Karena saya tahu, kedua-duanya - televisi maupun komputer - tidak bisa saya nikmati malam ini. Akhirnya, saya menghabiskan teh celup panas, rokok dan keripik singkong sambil menunggu listrik menyala.


Purwokerto,
awal Maret yang basah, 2008