Kamis, Desember 13, 2007

JIWA LETIHKU

Senja semakin condong ke barat, tinggalkan semburat garis warna-warni di sekujur langit. Ia mengantarku menuju pulang. Ditopangnya jiwaku yang mulai letih. Beban yang kurasakan semakin berat, bertahta di pundakku. Angin senja yang dingin menerbangkan serpihan-serpihan peristiwa, membuat pikirku tak bisa tetap, selalu berpindah dari satu peristiwa ke yang lainnya.

Dalam perjalanan pulangku, satu demi satu dari setiap peristiwa itu kubuang di pinggir jalan. Tidak semuanya, hanya sebagian. Peristiwa-peristiwa yang kiranya patut dikenang tak perlu kubuang. Dan sebaliknya, peristiwa-peristiwa yang rasanya menyakitkan, akan segera kubuang dan jauh kutinggalkan.

Sejenak kemudian, malam memisahkanku dari senja. Ia pasang tabir gelap di antara kami, yang tak bisa kutembus. Ia juga mengisi kedua mataku dengan kegelapannya. Hingga bila kulihat kedua mataku, tak kutemukan lagi cahaya, meski hanya seberkas. Tapi yang kudapati hanyalah kegelapan dan kebekuan yang kosong. Sebuah kekosongan yang tak bemakna.

Malam juga membungkam mulutku dengan keheningannya. Hingga meski aku berteriak, tak satupun teriakan yang bisa kudengar. Karena sekaligus ia juga menutup kedua telingaku dengan kebekuannya yang berhembus bersama angin dingin utusannya. Dan teriakan-teriakan itu menjadi teriakan-teriakan yang tanpa berarti.

Aku merebahkan jiwa letihku di atas mimpi lalu kuselimuti dengan sehelai khayalan. Aku mencoba memejamkan pikiranku. Tapi tak bisa. Hanya kebosanan dan kadang kekosongan yang melintas di hadapannya. Ya, karena nyaris seluruh peristiwa telah kubuang dalam perjalanan saat aku pulang. Dan jiwa letihku telah mengubah kebahagiaan menjadi sebuah kesengsaraan, kegembiraan menjadi ketakutan, dan harapan menjadi keputusasaan. Hingga peristiwa-peristiwa yang seharusnya patut dibayang berubah menjadi mimpi buruk yang mengerikan, yang aku sendiri tak ingin mengenangnya, apalagi mengharapkan menjadi nyata. Memaksaku harus membuangnya jauh-jauh dari pikirku.

Aku tak bisa terlena meski jiwa letihku menghendakinya. Aku bangun dan kurasakan beban yang bertahta di pundakku telah turun menggantung di dadaku. Berat dan menyesakkan. Pelahan aku menyingkapkan selimut khayalku dan duduk termenung, mencoba menatap kegelapan yang bersemayam di kedua mataku, mencoba mencari secercah cahaya yang mungkin bisa mengusir kegelapan di kedua mataku ini. Tapi yang kutemukan hanyalah secercah kekecewaan yang semakin membuat kedua mataku bertambah gelap.

Akupun mencoba berbisik, bergumam, berkata dan berseru. Penuh harap satu bisikan, satu gumamam, satu kata, atau satu seruan keluar dari mulutku. Tapi yang keluar hanyalah satu kekecewaan, yang semakin membungkam mulutku yang kelu, menjadikan telingaku semakin bisu.

Pelahan aku mempertemukan kedua telapak tanganku di depan wajahku di antara kedua mata gelapku. Lamat-lamat jiwa letihku berdoa lewat mulut bisuku, lidah keluku. Jiwa letihku hanya berharap, semoga malam ini bersahabat. Semoga ia sudi untuk menghamparkan lembaran-lembaran putih dari cahaya rembulan, serta sepucuk pena dari rasi gemintang dan semangkuk tinta dari pekatnya malam.

Di sana, di atas lembaran-lembaran putih dari cahaya rembulan itu, akan aku cipta suatu kisah tentang beban-beban yang kini menggantung di dadaku. Tentang senja yang mengantarku pulang, atau malam yang menjelaga dalam kedua mataku. Akan kurangkai berkata-kata kalimat dan bermakna-makna ibarat. Jika perlu, akan aku pindahkan segenap beban yang menggantung di dada ini ke atas lembaran putih dari cahaya rembulan itu. Akan aku tulis pula sebuah sejarah yang mungkin akan menjadi sebuah legenda. Hingga, tak perlu lagi aku bertutur, tentang kedua mataku yang terisi kegelapan malam, atau mulut bisuku yang dibungkam oleh keheningannya, atau telinga tuliku yang terhalang oleh kebekuannya. Dan aku juga tak perlu mendengar tanya-tanya yang akan diarahkan kepadaku. Sebuah tanya tentang aku yang sekarang kini.

Tapi sayang, malam kulihat sebagai seteru. Disembunyikannya rembulan di balik awan hitam. Dihembuskannya angin yang dingin meniup bintang dan membuat mereka padam. Kini, malam benar-benar gelap. Dalam kegelapan malam sekaligus kegelapan kedua mataku, keheningan mulutku sekaligus kebekuan telingaku, aku kembali membaringkan jiwa letihku di atas mimpi. Aku terkejut saat kurasakan mimpi telah membeku dan mengeras. Tidak seempuk dan senyaman sebelumnya. Dan aku kembali terperanjat, saat kutarik selimut khayalku, ia sobek di sana sini menjadikan angin malam yang dingin menyelinap dan mengelus kulitku, dingin dan beku.

Sambil kupendam kekecewaan di dalam batinku, aku melangkah menyusuri kegelapan. Tapi tak kutemukan satupun jalan. Malam telah menghapus jalan-jalan yang pernah kulalui. Bahkan aku pun tak mampu kembali ke tempat aku melangkah semula. Sedang keheningan dan kebekuan menusukku dari sudut-sudut kelengahanku. Akhirnya aku terpuruk pada sudut-sudut kesunyian. Aku benar-benar tak berdaya.

Dan kembali kutangkupkan kedua telapak tanganku di depan wajahku di antara kedua mata gelapku, dan jiwa letihku berdoa, berharap pagi segera datang. Ia akan merobek langit malam dengan fajarnya dan membakarnya dengan mentarinya. Mengganti kegelapan dengan cahayanya yang juga akan mengisi kedua mataku dengan sinar lembutnya. Membuang keheningan yang telah membungkam mulutku dengan keriuhannya, dan sekaligus akan menembus telingaku dengan kehangatannya.

Tapi untuk kesekian kalinya aku harus kecewa. Malam telah mencipta pula mendung-mendung yang hitam lagi gelap. Dan pagi membiarkan fajar bersembunyi di baliknya. Mentari yang aku harapkan segera menjelang, tak kunjung datang. Ia tak berdaya di balik kelambu awan yang legam. Aku menarik nafas dalam-dalam. Bukan lagi nafas yang aku hirup, tapi hawa kekecewaan yang masuk ke dalam dadaku. Hingga kurasakan dada ini semakin berat dan sesak. Dan beban-beban ini, yang dulu pernah bertahta di pundakku kemudian turun menggantung di dadaku, telah mengalir seiring darahku, terpompa dalam detak-detak jantungku.

Duhai, rupanya malam dan pagi telah mengikat janji, hendak mengurungku dalam kegelapan. Rupanya mereka telah sepakat untuk berkhianat. Dan membiarkan aku terpuruk dalam sakarat. Sedang beban-beban ini terus menghujami jiwaku, membuatnya berdarah. Mereka – beban-beban ini – bahkan tengah menggali liang lahad seukuran tubuhku. Dan mimpi-mimpi yang menakutkan siap mereka taburkan di atas pusaraku kelak. Mereka akan menimbunku dengan tubuh-tubuh mereka.

Masih dengan kekecewaan sepenuh rongga dada, kembali aku pertemukan kedua telapak tanganku di depan wajahku, di hadapan mata gelapku. Dan kembali pula mulut bisuku, lidah keluku berharap. Aku hanya meminta, semoga masa tak ikut berkhianat. Semoga ia segera menghapus malam dan pagi dari dirinya. Karena mereka adalah musuhku, mereka adalah telah mengkhianatiku.

Untuk terakhir kalinya aku harus kecewa. Karena masa tak seperti yang kupinta. Masih bisa kurasakan malam dan pagi yang silih berganti, berputar mengelilingiku. Meski kedua mataku terisi penuh dengan kegelapan, mulutku membisu oleh keheningan, telingaku tertutup kebekuan, dadaku sarat dengan beban, nafasku adalah kekecewaan, tapi jiwaku terbebas dari semua itu.

Untuk yang terakhir kalinya pula, kudekatkan kedua telapak tanganku yang terkatup ke wajahku, persis di antara kedua mata gelapku. Kali ini jiwaku yang berharap, meminta. Penuh yakin juga percaya, Tuhan masih bersamaku. Karena aku tahu, Ia bukanlah kegelapan. Ia juga bukan keheningan, pun bukan kebekuan. Ia bukanlah malam atau pagi yang telah mengikat janji sepakat berkhianat. Ia juga bukan masa, yang membiarkan malam dan pagi tetap silih berganti. Sesungguhnya aku juga benar-benar tahu, Ia bukanlah beban, yang bertahta di pundakku, menggantung di dadaku, mengalir dalam denyut jantungku, dan yang harus kubuang dari kehidupanku. Dan satu hal yang aku tahu pasti, bahwa aku bukanlah Ia. Sejenak kemudian, jiwa letihku diam.

===============
Tulisan ini pernah aku posting di blog friendster.

Tidak ada komentar: