...
Senja baru saja usai. Pelahan malam pun terbit memenuhi langit. Ia hadirkan rembulan yang mulai benderang diiringi satu dua kerjapan gemintang. Angin dingin pun sayup-sayup berhembus di antara kegelapan. Aku tersenyum dan menarik nafas lega. Inilah saat yang paling aku tunggu-tunggu. Saat dimana mentari berlabuh di ujung senja, dan lautan senja berubah menjadi samudera malam yang kelam. Karena pada saat itulah aku bisa merasakan sebuah kebebasan, yang aku nantikan sepanjang siang tadi. Terbayang dalam benakku, nikmatnya berbaring di atas khayalan sambil kupeluk mesra mimpi-mimpi. Mereka akan ceritakan tentang dongeng-dongeng pada sebuah negeri yang belum pernah kusinggahi. Tak jarang mereka juga bertutur tentang bidadari-bidadari yang belum pernah kutemui. Atau kisah-kisah tentang kebebasan diri. Akan aku kumpulkan semua itu dalam benakku, dan berharap salah satu darinya menjadi nyata. Meski aku tak tahu, entah kapan masanya.
Kala malam pelahan merangkak menuju puncaknya, seperti biasa mimpi pun singgah. Dia berbaring di sebelahku, kupeluk dan kucium.
“Cerita apa lagi yang akan engkau ceritakan, wahai mimpi yang bertandang saat malam tengah kelam?” sapaku kepadanya. Ia tersenyum.
“Apa saja. Tentang keindahan, tentang kebahagiaan, atau tentang kenikmatan,” jawabnya mesra. Aku tersenyum. Kemudian dengan lembut mimpi mulai bercerita. Dan dengan setia aku menikmatinya. Hilang segala putus asa, musnah segenap duka nestapa, saat kunikmati ceritanya dengan seksama. Lelah yang aku tanggung sepanjang siang telah berubah menjadi harapan yang tengah datang. Aku benar-benar dan selalu terpesona mendengar cerita-ceritanya. Hingga cerita berakhir aku tetap terjaga, sekedar memastikan bahwa cerita itu berakhir dengan bahagia. Dan saat rembulan bertambah condong, aku pun terlena. Mimpi menyelimutiku dengan harapan, kemudian dalam diam ia pun beranjak pergi. Seolah tak ingin pagi memergokinya tengah bersamaku.
Saat fajar membentang merobek cakrawala timur, ketakutan dan kekhawatiran menyelinap dalam kalbuku. Dan kala mentari bangunkan pagi, kebahagiaan dan segenap harapan yang telah kubangun semalam bersama mimpi pun runtuh diterpa sinarnya yang hangat menerobos lewat jendela. Bayu pagi yang dingin membangunkanku, memaksaku untuk menggeliat dan kemudian bangkit.
...
Senja baru saja usai. Pelahan malam pun terbit memenuhi langit. Ia hadirkan rembulan yang mulai benderang diiringi satu dua kerjapan gemintang. Angin dingin pun sayup-sayup berhembus di antara kegelapan. Aku tersenyum dan menarik nafas lega. Inilah saat yang paling aku tunggu-tunggu. Saat dimana mentari berlabuh di ujung senja, dan lautan senja berubah menjadi samudera malam yang kelam. Karena pada saat itulah aku bisa merasakan sebuah kebebasan, yang aku nantikan sepanjang siang tadi. Terbayang dalam benakku, nikmatnya berbaring di atas khayalan sambil kupeluk mesra mimpi-mimpi. Mereka akan ceritakan tentang dongeng-dongeng pada sebuah negeri yang belum pernah kusinggahi. Tak jarang mereka juga bertutur tentang bidadari-bidadari yang belum pernah kutemui. Atau kisah-kisah tentang kebebasan diri. Akan aku kumpulkan semua itu dalam benakku, dan berharap salah satu darinya menjadi nyata. Meski aku tak tahu, entah kapan masanya.
Kala malam pelahan merangkak menuju puncaknya, seperti biasa mimpi pun singgah. Dia berbaring di sebelahku, kupeluk dan kucium.
“Cerita apa lagi yang akan engkau ceritakan, wahai mimpi yang bertandang saat malam tengah kelam?” sapaku kepadanya. Ia tersenyum.
“Apa saja. Tentang keindahan, tentang kebahagiaan, atau tentang kenikmatan,” jawabnya mesra. Aku tersenyum. Kemudian dengan lembut mimpi mulai bercerita. Dan dengan setia aku menikmatinya. Hilang segala putus asa, musnah segenap duka nestapa, saat kunikmati ceritanya dengan seksama. Lelah yang aku tanggung sepanjang siang telah berubah menjadi harapan yang tengah datang. Aku benar-benar dan selalu terpesona mendengar cerita-ceritanya. Hingga cerita berakhir aku tetap terjaga, sekedar memastikan bahwa cerita itu berakhir dengan bahagia. Dan saat rembulan bertambah condong, aku pun terlena. Mimpi menyelimutiku dengan harapan, kemudian dalam diam ia pun beranjak pergi. Seolah tak ingin pagi memergokinya tengah bersamaku.
Saat fajar membentang merobek cakrawala timur, ketakutan dan kekhawatiran menyelinap dalam kalbuku. Dan kala mentari bangunkan pagi, kebahagiaan dan segenap harapan yang telah kubangun semalam bersama mimpi pun runtuh diterpa sinarnya yang hangat menerobos lewat jendela. Bayu pagi yang dingin membangunkanku, memaksaku untuk menggeliat dan kemudian bangkit.
...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar